Pengertian Manajemen Perubahan
Perubahan adalah respon terencana atau tak terencana terhadap
tekanan-tekanan dan desakan-desakan yang ada. Manajemen Perubahan adalah upaya
yang dilakukan untuk mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya
perubahan dalam organisasi. Perubahan
mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, tanpa adanya
perubahan maka dapat dipastikan bahwa usia organisasi tidak akan bertahan lama. Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam
maupun dari luar organisasi tersebut.
Perubahan
bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis melainkan tetap dinamis dalam
menghadapi perkembangan jaman, kemajuan teknologi dan dibidang pelayanan
masyarakat adalah peningkatan kesadaran masyarakat akan pelayanan yang
berkualitas.
Perubahan
terdiri dari 3 tipe yang berbeda, dimana setiap tipe memerlukan strategi
manajemen perubahan yang berbeda pula. Tiga macam perubahan tersebut
adalah:
a.
Perubahan
Rutin, dimana telah direncanakan dan dibangun melalui proses organisasi;
b. Perubahan
Peningkatan, yang mencakup keuntungan atau nilai yang telah dicapai organisasi;
c.
Perubahan
Inovatif, yang mencakup cara bagaimana organisasi memberikan pelayanannya.
Tahap-Tahap Manajemen Perubahan
Suatu perubahan terjadi melalui
tahap-tahapnya. Pertama-tama adanya dorongan dari dalam (dorongan
internal), kemudian ada dorongan dari luar (dorongan eksternal). Untuk
manajemen perubahan perlu diketahui adanya tahapan perubahan. Tahap-tahap
manajemen perubahan ada empat, yaitu:
Tahap 1, yang merupakan tahap
identifikasi perubahan, diharapkan seseorang dapat
mengenal perubahan apa yang akan dilakukan /terjadi. Dalam tahap ini
seseorang atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan mengidentifikasi
tipe perubahan.
Tahap 2, adalah tahap perencanaan
perubahan. Pada tahap ini harus dianalisis
mengenai diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi umum, dan pemilihan.
Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya faktor pendukung sehingga
perubahan dapat terjadi dengan baik.
Tahap 3, merupakan tahap implementasi perubahan dimana terjadi
proses pencairan, perubahan dan pembekuan yang diharapkan. Apabila suatu
perubahan sedang terjadi kemungkinan timbul masalah. Untuk itu perlu dilakukan
monitoring perubahan.
Tahap 4, adalah tahap evaluasi dan umpan balik. Untuk melakukan evaluaasi
diperlukan data, oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data dan
evaluasi data tersebut. Hasil evaluasi ini dapat di umpan balik kepada tahap
1 sehingga memberi dampak pada perubahan yang diinginkan berikutnya.
Sasaran-Sasaran
Perubahan
Dalam
menganalisa sasaran-sasaran perubahan yang sifatnya organisasional, hendaknya
selalu diperhatikan kaitan antara sasaran-sasaran yang ingin dicapai itu dengan
tujuan yang hendak dicapai, sepanjang tujuan yang telah ditentukan sebelumnya
tidak turut diubah. Memang bukan hal yang mustahil terjadi bahwa tujuan
organisasi pun dirasakan memerlukan perubahan, baik dalam arti keseluruhan,
maupun komponen tertentu dari tujuan tersebut.
Berikut adalah
sasaran-sasaran perubahan tersebut:
a. Perubahan dalam struktur organisasi
Komponen organisasi yang amat
sering dijadikan sebagai salah satu sasaran perubahan organisasional adalah
stuktur organisasi. Perubahan dalam struktur organisasi meliputi :
- Perumusan dalam rumusan atau segi-segi tertentu pada tujuan yang telah ditetapkan.
- Perubahan dalam mision yang hendak diemban. Seperti misalnya mission suatu Angkatan Bersenjata yang dirumuskan dengan gaya tertentu dalam suasana damai yang perlu diubah apabila negara dalam keadaan perang.
- Perubahan dalam rumusan, sifat dan jenis tugas pokok, tugas dan kegiatan operasional.
- Perubahan dalam beban kerja yang dipikul oleh organisasi sebagai keseluruhan atau komponen-komponen tertentu dari organisasi.
b. Perubahan prosedur kerja.
Perubahan dalam bidang prosedur
kerja dapat saja terjadi dengan atau tanpa perubahan dalam struktur organisasi.
Perubahan dalam prosedur kerja dapat terjadi secara menyeluruh dan mencakup
seluruh peroses administrasi, ataupun terjadi secara inkeremental artinya hanya
mencakup sebagian proses administrasi. Perubahan prosedur kerja meliputi:
1. Perubahan
prosedur kerja dalam kegiatan investigatif dalam rangka analisa dan perumusan
kebijaksanaan. Dalam rangka analisa san perumusan kebijaksanaan,
organisasi-organisasi modern melakukan kegiatan investigatif atau dengan kata
lain usaha pengumpulan informasi. Jika misalnya suatu organisasi mengambil
keputusan untuk mengubah strategi dan caranya memperoleh informasi, keputusan
tersebut tentunya mempunyai implikasi dalam bentuk perubahan dalam prosedur
kerja untuk memenuhi kebutuhan organisasi akan informasi tertentu.
2. Perubahan prosedur
kerja dalam perumusan kebijaksanaan. Hal ini berkaitan dengan manajemen
dan gaya kepemimpinan para pemimpin organisasi. Artinya, jika seorang pemimipin
menerapkan manajemen terbuka dan sifatnya partisipatif, ia akan mengajak
bawahannya untuk berperan aktif dalam perumusan kebijaksanaan. Cara dan
pendekatan seperti ini mungkin terasa berbelit-belit dan rumit, akan tetapi
dipandang dari segi perilaku administratif, jalan inilah merupakan cara yang
terbaik. Atau sebaliknya ketika seorang pemimpin menjalankan manajemen yang
sifatnya otoriter ia akan menutup partisipasi bawahannya dalam proses perumusan
kebijaksanaan tersebut
3. Perubahan
prosedur kerja dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana halnya dengan
proses perumusan kebijaksanaan, proses pengambilan keputusan juga berkaitan
dengan manajemen dan gaya kepemimpinan para pemimpin organisasi. Dalam proses
pengambilan keputusan perlu dirumuskan secara tegas dan jelas sifat dan bentuk
keterlibatan berbagai pihak, termasuk segala perubahan yang dianggap perlu
untuk peningkatan efisiensi dan efektifitas kerja baik di tingkat individual
maupun pada tingkat organisasional.
4. Perubahan prosedur dalam
perencanaan. Hal ini berkaitan dengan kepekaan dan sikap tanggap terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang diluar organisasi yang
pengaruhnya dirasakan dalam pelaksanaan tugas fungsional organisasi.
Perubahan-perubahan tersebut berimplikasi terhadap kualitas, jenis dan bentuk
informasi yang diperlukan dalam menyusun rencana yang pada gilirannya mungkin
menuntut perubahan dalam prosedur kerja. Misalnya, suatu organisasi niaga yang
memproduksi mobil mewah. Tiba-tiba terjadi krisis ekonomi yang mengakibatkan
harga-harga kebutuhan pokok naik. Sehingga orang-orang terpaksa mempertimbangkan
kembali niatnya untuk membeli mobil mewah dan lebih banyak memikirkan untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya yang lebih mendesak. Hal ini mengakibatkan
organisasi niaga tersebut harus mengadakan penyesuaian tertentu dalam menyusun
rencana kerjanya baik dalam rencana produksi, penggudangan, pemasaran dan
sebagainya.
5. Perubahan
prosedur kerja dalam pengorganisasian. Hal ini berkaitan dengan perubahan yang
bersifat struktural dalam organisasi.
6. Perubahan
perubahan prosedur kerja dalam pergerakan bawahan. Hal ini berkaitan dengan
faktor motivasional yang bersifat kebendaan dan non-kebendaan dari para anggota
organisasi. Para anggota organisasi akan menerima perubahan yang akan terjadi
apabila dalam diri mereka timbul keyakinan bahwa perubahan yang terjadi itu
akan menguntungkan atau bahkan merugikannya. Disamping itu pimpinan organisasi
memang perlu untuk selalu mencari dan menemukan prosedur baru yang dapat
menguntungkan bagi organisasi dan yang memberi kemudahan bagi para anggotanya.
Misalnya pada prosedur pembayaran gaji dan upah. Pembayaran gaji dengan cara
yang konvensional dengan cara antri di depan loket pembayaran gaji mungkin
lebih efisien dan lebih mudah apabila diganti dengan sistem pembayaran transfer
via rekening. Hal tersebut diatas dapat mempunyai efek motivasional yang tidak
kecil artinya.
7. Perubahan
prosedur kerja dalam melaksanakan tugas operasional. Hal ini berkaitan dengan
kebiasaan, cara kerja dan prosedur kerja operasional yang sudah biasa
dipergunakan oleh para petugas operasional yang yang tidak mudah untuk diubah.
Masalahnya sering berubah dari masalah yang bersifat teknis menjadi masalah
sikap. Contohnya para petani yang tinggal di daerah pedesaan dan hidup dalam
lingkungan yan dapat dikatakan tradisional, sudah mempunyai persepsi dan
kebiasaan tertentu tentang cara bercocok tanam atau bertani. Persepsi dan
kebiasaan tertentu itu bahkan mungkin sudah dianggap sebagai satu-satunya
persepsi dan kebiasaan yang benar dan oleh karena itu tidak perlu diubah lagi.
Apalagi kalau mengingat bahwa persepsi dan kebiasaan itu telah berlaku
turun-temurun di masyarakat. Apabila ada usaha dari pemerintah misalnya untuk
mengubah persepsi dan kebiasaan itu tidak mudah dan memerlukan kesabaran,
tenaga, biaya, waktu yang tidak sedikit. Umpamanya kebiasaan dalam menyuburkan
tanah dengan cara lama yang menggunakan pupuk kimiawi diganti dengan cara
menggunakan pupuk organik. Jelaslah bahwa mengubah prosedur kerja operasional
tidak tepat apabila hanya dipandang sebagai masalah teknis saja, karena sering
yang menjadi penghalang adalah justru sikap mental yang mengakibatkan orang
tidak mau atau enggan menerima perubahan. Kareanya, pendekatan yang diperlukan
tidak hanya pendekatan teknis, melainkan juga pendekatan psikologis dan
perilaku.
8. Perubahan prosedur kerja dalam hal
melakukan pengawasan. Pengawasan merupakan fungsi manajemen yang sangat penting
artinya dalam meningkatkan efisiensi, efektifitas dan produktifitas kerja.
Dengan kata lain, pengawasan amat penting peranannya dalam menghilangkan atau
mengurangi pemborosan dan penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Misalnya, dalam usaha pengumpulan fakta dan data operasional dengan
teknologi informasi dapat meningkatkan efisiensi pengawasan yang nantinya akan
meningkatkan efisiensi organisasi.
c. Perubahan Dalam Hubungan Kerja Antar Personal.
Hubungan yang serasi antara semua
orang dalam organisasi adalah suatu hal yang sangat penting, oleh karena itu
suasana demokratis dan partisipatif perlu dikembangkan dan dipelihara dalam
organisasi. Jika organisasi dikelola dengan cara-cara yang otoriter, diktatorial,
tertutup dan melalui "tangan besi", organisasi demikian diperkirakan
akan gagal dalam pencapaian tujuannya. Oleh karena itu hubungan kerja harus
disoroti. Hubungan kerja adalah segala bentuk interaksi personal yang terjadi
dalam rangka pelaksanaan tugas baik vertikal maupun horizontal antara anggota
organisasi. Hubungan kerja yang serasi itu hendaknya ditumbuhkan dan dipelihara
secara melembaga sehingga bentuk dan sifatnya tidak tergantung kepada selera
individu tertentu.
Dibawah ini adalah hal-hal yang
perlu mendapat perhatian dalam hal perubahan dalam hubungan kerja antar
personal:
1. Loyalitas kelembagaan. Yang perlu
ditumbuhkan dalam organisasi adalah loyalitas para anggotanya kepada organisasi
bukan kepada orang tertentu, misalnya jika pada waktu tertentu si A menjadi
direktur utama perusahaan X, loyalitas yang melembaga adalah loyalitas kepada
perusahaan X dan kepada direktur utama, bukan kepada si A secara pribadi.
Dengan demikian, apabila terjadi pergantian jabatan direktur utama, dari si A
ke si B, tidak sulit bagi anggota organisasi mempertahankan loyalitasnya yang
sejak semula memang tidak ditujukan kepada si A secara pribadi.
2. Kebijaksanaan
tentang sifat hubungan kerja hendaknya dinyatakan secara tertulis. Pentingnnya kebijaksaaan
tentang hubungan kerja itu dinyatakan secara tertulis terlihat bukan saja dalam
rangka kontinuitas, akan tetapi juga agar tidak mudah diubah-ubah untuk
memenuhi selera manajerial dari orang-orang tertentu. Misalnya perlu diatur
secara tertulis siapa yang berhubungan dengan siapa dan dalam hal apa,
mekanisme koordinasi yang berlaku dalam organisasi, cara dan teknik
pendelegasian wewenang serta pengaturan hubungan pertanggungjawaban.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perubahan
Setiap perubahan akan memengaruhi
siapapun; apakah dia pihak manajemen ataukah anggota organisasi. Perubahan bisa
ditanggapi secara positif ataukah negatif bergantung pada jenis dan derajat
perubahan itu sendiri. Ditanggapi secara negatif atau dalam bentuk penolakan
kalau perubahan yang terjadi dinilai merugikan diri manajemen dan anggota
organisasi. Misalnya yang menyangkut penurunan kompensasi, pembatasan
karir, dan rasionalisasi anggota organisasi. Sementara kalau perubahan itu
terjadi pada inovasi proses perbaikan mutu maka perubahan yang timbul pada
manajemen dan anggota organisasi adalah dalam hal pengetahuan, sikap dan
ketrampilan mengoperasikan teknologi baru. Kalau itu terjadi pada perubahan
motivasi anggota organisasi staf dalam suatu tim kerja maka perubahan yang
semestinya terjadi adalah terjadinya perubahan manajemen mutu sumberdaya
manusia. Itu semua tanggapan positif atas terjadinya perubahan.
Untuk mencapai keberhasilan suatu
program perubahan maka setiap orang harus siap dan mampu merubah perilakunya.
Hal ini sangat bergantung pada apa yang mempengaruhi perilaku dan apa pula yang
mendorong seseorang untuk berubah. Faktor-faktor internal yang diduga
mempengaruhi perilaku meliputi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan/keyakinan,
lingkungan dan visi organisasi. Sementara faktor-faktor pendorong
seseorang untuk berubah adalah kesempatan memperoleh keuntungan nyata atau
menghindari terjadinya kerugian pribadi. Beragam Faktor Mempengaruhi Perubahan
perilaku dimaksud diuraikan sebagai berikut.
(1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan unsur pokok bagi setiap anggota
organisasi untuk merubah perilakunya dalam mengerjakan sesuatu. Semakin tinggi
tingkat pengetahuan anggota organisasi semakin mudah dia untuk mengikuti
perubahan sesuai dengan tugasnya. Karena itu pengetahuan ditempatkan secara
strategis sebagai salah satu syarat penting bagi kemajuan perilaku anggota
organisasi. Anggota organisasi yang hanya menggunakan pengetahuan yang
sekedarnya akan semakin tertinggal kinerjanya dibanding anggota organisasi yang
selalu menambah pengetahuannya yang baru.
(2) Ketrampilan
Ketrampilan, baik fisik maupun non-fisik, merupakan
kemampuan seseorang yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan baru.
Ketrampilan fisik dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan fisik, misalnya
mengoperasikan komputer, mesin produksi dsb. Ketrampilan non-fisik dibutuhkan
untuk mendapatkan sesuatu yang sudah jadi. Misalnya kemampuan memimpin rapat,
membangun komunikasi, dan mengelola hubungan dengan para pelanggan secara
efektif. Jadi disitu terdapat hubungan antara proses dan ketrampilan komunikasi
antarpersonal. Ketrampilan lebih sulit untuk diubah atau dikembangkan ketimbang
pengetahuan. Perubahan ketrampilan sangat terkait dengan pola perilaku naluri
(instink). Proses perubahan respon instink anggota organisasi membutuhkan waktu
relatif cukup panjang karena faktor kebiasaan apalagi budaya tidak mudah untuk
diubah. Misalnya anggota organisasi yang biasanya bertanya pada anggota
organisasi dengan ucapan “apa yang manajer inginkan” (kurang sopan) sulit untuk
segera berubah menjadi ucapan”apa yang dapat saya kerjakan untuk manajer” atau
“bolehkah saya membantu manajer” (lebih sopan).
(3)
Kepercayaan
Kepercayaan anggota organisasi menentukan sikapnya
dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk mengerjakan sesuatu.
Boleh jadi anggota organisasi diberikan pengetahuan dan ketrampilan baru dengan
cara berbeda. Namun hal itu dipengaruhi oleh kepercayaan yang dimilikinya
apakah pengetahuan dan ketrampilan yang diterimanya akan berguna atau tidak.
Dengan kata lain suatu kepercayaan relatif sulit untuk diubah. Jadi kalau
ingin melatih anggota organisasi harus diketahui dahulu kepercayaan yang
dimiliki anggota organisasi sekurang-kurangnya tentang aspek persepsi dari
kegunaan suatu pelatihan.
(4) Lingkungan
Suatu lingkungan organisasi mempengaruhi perilaku
anggota organisasi apakah melalui pemberian penghargaan atas perilaku yang
diinginkan ataukah dengan mengoreksi perilaku yang tidak diinginkan. Lingkungan
organisasi seperti keteladanan pimpinan dan model kepemimpinan serta masa depan
organisasi yang cerah akan berpengaruh pada derajat dan mutu perubahan perilaku
anggota organisasi. “Apa yang organisasi berikan pada anggota organisasi dan
apa pula yang organisasi dapatkan”. Keberhasilan organisasi sangat ditentukan
oleh apa yang bisa diberikan organisasi kepada anggota organisasinya. Semakin
tinggi kadar insentif yang diberikan semakin efektif terjadinya perubahan
perilaku anggota organisasinya. Sebaliknya organisasi yang tidak efektif
atau gagal cenderung akan menciptakan perubahan perilaku yang juga tidak
efektif.
(5) Tujuan
organisasi
Tujuan organisasi ditentukan oleh kepercayan kolektif
dari para pimpinan organisasi dan ini menciptakan lingkungan tertentu. Selain
itu tujuan merupakan turunan dari visi masa depan dan sistem nilai organisasi.
Pemimpin organisasi yang memiliki visi dan tujuan yang jelas akan menciptakan
lingkungan yang mendorong perilaku produktif. Sebaliknya hanya akan menciptakan
kebingungan di kalangan anggota organisasi.
Kombinasi dari lima faktor di atas
menentukan keefektifan suatu perubahan perilaku anggota organisasi. Dengan
pengembangan pengetahuan yang ada anggota organisasi semakin mengetahui atau
memahami apa yang dibutuhkan untuk mampu mengerjakan pekerjaannya. Ketrampilan
dalam bentuk kemampuan fisik dan non-fisik dibutuhkan agar anggota organisasi
mampu mengerjakan pekerjaan yang baru. Kepercayaan menentukan apakah anggota
organisasi akan menggunakan ketrampilan dan teknik barunya dalam praktek.
Sementara lingkungan organisasi akan menciptakan tujuan organisasi dalam
merumuskan standar apa yang bisa diterimanya. Tujuan organisasi itu sendiri
ditentukan oleh visi organisasi dan dapat menciptakan lingkungan baru. Selain
itu bisa jadi faktor pengaruh menguatnya kecerdasan emosional dan spiritual
dari anggota organisasi akan membantu organisasi lebih siap dalam mengelola
perubahan.
Pelaku Perubahan
Setidak-tidaknya ada tiga pelaku
perubahan yang bisa berperan dalam setiap proses perubahan, diantaranya adalah:
1. Para pelaku
perubahan dengan kekuasaan resmi (legitimacy of change) adalah mereka
yang memiliki kekuasaan yang diakui secara formal dan dianggap sah.
2. Para
pendorong dan penganjur timbulnya perubahan (instigators of change)
adalah mereka yang memandang perlunya perubahan karena telah membandingkan dan
melihat sesuatu yang baik di tempat lain, seperti mereka yang baru kembali dari
studi banding.
3. Para
fasilitator perubahan (facilitator of change) adalah mereka yang memiliki
kewibawaan dan diakui serta dikenal sebagai pemimpin informal yang memudahkan
serta melicinkan proses timbulnya perubahan.
Para pelaku perubahan tersebut
diatas memiliki karakteristik dan cirri-ciri sebagai berikut :
1. Memiliki
pemikiran dan ide inovatif, bersemangat dan berani.
2. Selalu
mencari hal-hal baru yang menantang dengan mempertimbangkan resiko yang tidak
terlalu tinggi.
3. Ingin selalu
melihat organisasi, masyarakat atau institusinya berkembang maju dan memilii
loyalitas yang tinggi serta komitmen yang kuat
4. Pandai
berorganisasi, cerdik dalam berpolitik, mengerti sistem kekuasaan serta
batas-batas perubahan yang ingin dilakukan tetapi tidak terkalahkan oleh
rintangan dan keterbatasan yang ada.
5. Dapat
menjadi anggota dan pemain tim yang efektif serta gampang dan senang berkawan.
Masalah dalam Perubahan
Tidak banyak orang yang suka akan
perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi.
Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan
agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
Banyak masalah yang bisa terjadi
ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah
“penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam
manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan
atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan
tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan
atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar.
Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan
protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat
(implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang,
motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat,
dan lain sebagainya.
Untuk keperluan analitis, dapat
dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan
oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional.
a. Penolakan individual
Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan,
maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan. Penolakan
individual dapat terjadi karena hal-hal dibawah ini :
1. Kebiasaan. Kebiasaan
merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang
hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun
pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat,
nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus kita lakukan sehingga
terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar
terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan.
2. Rasa aman. Jika
kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan
rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah
cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para
pegawai.
3. Faktor ekonomi. Faktor lain
sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah soal menurun-nya pendapatan.
Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan kehilangan upah lembur.
4. Takut akan sesuatu yang tidak
diketahui. Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu
muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan
kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih
kondisi sekarang dan menolak perubahan.
5. Persepsi. Persepsi
cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi
sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat,
karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama,
sehingga menimbulkan sikap negatif.
b. Penolakan Organisasional
Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara
aktif mereka menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang
mengenal-kan doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan
lembaga yang paling sulit berubah. Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di
sekolah-sekolah hampir dipastikan relatif sama dengan apa yang terjadi dua
puluh lima tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar
organisasi bisnis. Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan yaitu:
1. Inersia struktural. Artinya
penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan
main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasil- kan stabilitas.
Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu.
2. Fokus perubahan berdampak luas. Perubahan
dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja
karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian
lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi
baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan
lancar.
3. Inersia kelompok kerja. Walau
ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk
menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, walau sebagai pribadi kita
setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma
serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.
4. Ancaman terhadap keahlian. Perubahan
dalam pola organisasional bisa mengancam keakhlian kelompok kerja tertentu.
Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan
para juru gambar.
5. Ancaman terhadap hubungan kekuasaan
yang telah mapan. Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan
partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia
dan manajer tingkat menengah.
6. Ancaman terhadap alokasi sumberdaya.
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah
relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka.
Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya?.
Strategi Mengatasi Penolakan
Coch dan French Jr. mengusulkan ada
enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan yaitu:
1. Pendidikan
dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar
belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak.
Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan,
presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.
2. Partisipasi. Ajak serta
semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai
fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan
3. Memberikan
kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau
bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan
mengurangi tingkat penolakan.
4. Negosiasi. Cara lain
yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang
menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai
kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif
yang bisa memenuhi keinginan mereka
5. Manipulasi
dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang
sesungguhnya. Misalnya memlintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik,
tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya.
Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan
penentang perubahan dalam mengambil keputusan.
6. Paksaan. Taktik
terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun
yang menentang dilakukannya perubahan.
DAFTAR
PUSTAKA:
Alamsyah, Kamal. 2004. Perilaku Organisasi dalam
Birokrasi Pemerintahan. Pustaka Raja. Yogyakarta
Arsyad, Azhar. 2003. Pokok Pokok Manajemen.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Siagian, Sondang P. 2003. Filsafat Administrasi.
Bumi Aksara. Jakarta
Siagian, Sondang P. 1997. Organisasi Kepemimpinan
dan Perilaku Administrasi. PT Toko Gunung Agung. Jakarta
Suganda, Dann. 1986. Manajemen Administrasi.
Sinar Baru. Bandung
Utomo, Warsito. 2007. Administrasi Publik Baru
Indonesia. Pustaka Pelajar. Jakarta
Wicaksono,
Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Graha
Ilmu.Yogyakarta